PERKEMBANGAN TEKNOLOGI DALAM BIDANG PERFILMAN

A.  Sejarah Perfilman

Jika kita mendengar kata “film”, maka yang ada di benak kita adalah tayangan yang berkatagori komedi, romantis, petualangan, kartun, dan masuh banyak lagi. Tak hanya dari kalangan anak-anak, semua orang dari berbagai kalangan pun menyukai film yang sesuai dengan usia mereka. Tapi, kita harus mengetahui latar belakang dan sejarah pembuatan film sampai dengan yang kita lihat seperti sekarang ini.

Film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik, dan/atau lainnya. Dalam bahasa inggris, film is a story that is told using moving pictures, shown at a cinema or on television[1]. Artinya, film adalah cerita yang disampaikan melalui gambar yang bergerak biasanya dipertontonkan di bioskop atau televisi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia untuk Android, film berarti 1. Selaput tipis yang terbuat dari seluloid untuk tempat gambar negatif (yang akan dibuat potret) atau untuk gambar positif (yang akan dimainkan di bioskop), 2. Lakon (cerita) gambar hidup.

Sejarah perkembangan film dimulai sejak ditemukanya gambar bergerak yang didemonstrasikan oleh Eadweard Muybridge dari Stanford University dengan membuat 16 gambar atau frame kuda yang sedang berlari. Kejadian ini terjadi pada tahun 1878. Dari ke-16 gambar kuda yang sedang berlari ini dirangkai dan digerakkan secara berurutan menghasilkan gambar bergerak pertama yang berhasil dibuat di dunia. Dari sinilah ide membuat sebuah film muncul. Sepuluh tahun setelah penemuan gambar bergerak (1888), barulah muncul film (bukan sekedar gambar bergerak) pertama di dunia, paling tidak mendekati konsep film-film yang sudah ada saat ini. Film ini dikenal dengan nama Roundhay Garden Scene yang di’sutradarai’ oleh Louis Le Prince yang berasal dari Prancis. Film berdurasi sekitar 2 detik ini menggambarkan sejumlah anggota keluarga Le Prince sedang berjalan-jalan menikmati hari di taman.

Film pertama kali dipertontonkan untuk khalayak umum dengan membayar berlangsung di Grand Cafe Boulevard de Capucines, Paris, Perancis pada 28 Desember 1895. Peristiwa ini sekaligus menandai lahirnya film dan bioskop di dunia. Karena lahir secara bersamaan inilah, maka saat awal-awal ini berbicara film artinya juga harus membicarakan bioskop. Meskipun usaha untuk membuat “citra bergerak” atau film ini sendiri sudah dimulai jauh sebelum tahun 1895, bahkan sejak tahun 130 masehi, namun dunia internasional mengakui bahwa peristiwa di Grand Cafe inilah yang menandai lahirnya film pertama di dunia. Pelopornya adalah dua bersaudara Lumiere Louis (1864-1948) dan Auguste (1862-1954). Lumiere Bersaudara mempertunjukan cinematograph untuk pertama kalinya kepada masyarakat Paris hanya dengan membayar 1 franc. Jadi hingga saat ini hal itulah yang dianggap menjadi hari dimana sebuah sinema itu ada.

Keunggulan cinematograph (Lumiere) dibandingkan dengan alat perekam lain:

  1. Gambar yang dihasilkan lebih tajam.
  2. Intermittent movement (gerak sendat).
  3. Fleksibel (kamera ringan & kecil)

Thomas A. Edison juga menyelenggarakan bioskop di New York pada 23 April 1896. Dan meskipun Max dan Emil Skladanowsky muncul lebih dulu di Berlin pada 1 November 1895, namun pertunjukan Lumiere Bersaudara inilah yang diakui kalangan internasional. Kemudian film dan bioskop ini terselenggara pula di Inggris (Februari 1896), Uni Sovyet (Mei 1896), Jepang (1896-1897), Korea (1903) dan di Italia (1905).

Dunia perfilman anak juga dimulai oleh Walter Elias Disney atau yang lebih akrab disapa Walt Disney. Dia memulai mencoba membuat hiburan untuk anak-anak pertama kali saat mencoba menghibur adik perempuannya, Ruth, yang sedang sakit. Ia membuat gambar di sudut buku kecil yang pergerakannya berubah secara perlahan. Lalu ketika ia membuka sudut buku itu secara cepat, gambar-gambaar yang ia buat seolah-olah bergerak. Melihat adiknya terhibur, ia mulai berpikir untuk membuat hiburan dalam bentuk gambar untuk anak-anak. Berawal dari film “Alice in the Wonderland”, serial Mickey Mouse dan kawan-kawan, hingga animasi Disney lainnya yang kita kenal sekarang, nama Walt Disney dikenang dalam dunia hiburan anak-anak sampai rekannya membuat Disney Land di Orlando, Amerika Serikat dan Hongkong.

Sedangkan di Indonesia sendiri, film pertamakali diperkenalkan pada 5 Desember 1900 di Batavia (Jakarta). Pada masa itu film disebut “Gambar Idoep”. Pertunjukkan film pertama digelar di Tanah Abang. Film adalah sebuah film dokumenter yang menggambarkan perjalanan Ratu dan Raja Belanda di Den Haag. Pertunjukan pertama ini kurang sukses karena harga karcisnya dianggap terlalu mahal. Sehingga pada 1 Januari 1901, harga karcis dikurangi hingga 75% untuk merangsang minat penonton.

Film cerita pertama kali dikenal di Indonesia pada tahun 1905 yang diimpor dari Amerika. Film-film impor ini berubah judul ke dalam bahasa Melayu. Film cerita impor ini cukup laku di Indonesia. Jumlah penonton dan bioskop pun meningkat. Daya tarik tontonan baru ini ternyata mengagumkan. Film lokal pertama kali diproduksi pada tahun 1926. Sebuah film cerita yang masih bisu. Agak terlambat memang. Karena pada tahun tersebut, di belahan dunia yang lain, film-film bersuara sudah mulai diproduksi.

Perubahan dalam industri perfilman, jelas nampak pada teknologi yang digunakan. Jika pada awalnya, film berupa gambar hitam putih, bisu dan sangat cepat, kemudian berkembang hingga sesuai dengan sistem pengelihatan mata kita, berwarna dan dengan segala macam efek-efek yang membuat film lebih dramatis dan terlihat lebih nyata. Film tidak hanya dapat dinikmati di televisi, bioskop, namun juga dengan kehadiran VCD dan DVD, film dapat dinikmati pula di rumah dengan kualitas gambar yang baik, tata suara yang ditata rapi, yang diistilahkan dengan home theater.

  1. Film 2 Dimensi (2D), 3 Dimensi (3D), dan 4 Dimensi (4D)

Perkembangan teknologi dan komputer menyebabkan industri perfilman juga mengikuti perkembangan yang ada. Mulai dari film bisu, film hitam putih, hingga film yang kita kenal seperti sekarang ini seperti film 2 dimensi (2D) dan 3 dimensi (3D). Dilihat dari cara pembuatannya, film produksi luar negeri seperti 20th Century Fox, Columbia Pictures, Dream Works SKG, Paramount Pictures, Pixar Animation Studios, Sony Pictures Entertainment, Universal Studios, Walt Disney Picture, lebih disukai baik di dalam negeri maupun luar negeri dikarenakan beberapa faktor, yaitu ceritanya yang tidak membosankan, setting yang menarik perhatian penonton, dan yang tak kalah pentingnya adalah efek yang diberikan di setiap adegan film yang menambah film tersebut terlihat seperti kenyataan.

  1. Film 2 dimensi (2D)

Film 2D biasanya digunakan pada film kartun. Film ini memberika kelebihan dalam penayangan yaitu memiliki suara yang jernih, gambar lebih halus, serta gambar yang telah di sensor hampir tidak terlihat. Kelemahannya yaitu kualitas hasil proyeksinya lebih kecil daripada film biasanya, dimana layar akan lebih kecil dikarenakan jika menggunakan layar lebih besar kualitasnya akan semakin berkurang. Softwae animasi 2D biasanya digunakan untuk membuat animasi tradisional dimana memiliki kemampuan dalam mengatur gerak, menggambar, sebagian bisa mengimpor suara dan mengatur waktu. Software yang digunakan yaitu Macromedia Flash,GIF Animation dan Corel Rave, Swish Max, After Effects, Moho, CreaToon, dan ToonBoo. Contoh film 2D adalah Shincan, Looney Toons, Pink Panther, Tom and Jerry, dan Scooby Doo

  1. Film 3 dimensi (3D)

Kualitas film 3D memberikan tayangan 3 dimensi atau terlihat lebih nyata dengan menggunakan bantuan alat kacamata khusus. Jika tidak, gambar akan terlihat blur atau buram. Kacamata yang sering digunakan pada format film 3D adalah Red/Cyan dimana red (merah) di kiri dan cyan (biru) di kanan. Kelemahannya adalah film format 3D tidak disertai dengan terjemahan dikarenakan akan mengurangi kualitas film. Penggunaan kacamata dalam film 3D hanya pada bioskop, sedangkan pada televisi tidak memerlukan kacamata.

Pada penayanagan film 3D, menggunakan dua proyektor yaitu interlocking atau dengan menggunakan satu proyektor tapi memiliki dua lensa. Beberapa merk proyektor yang sering digunakan pada sinema digital adalah Barco, Sony, Kinoton, dan Christie. Berikut beberapa sistem penayangan sinema digital pada film 3D :

  1. Real D adalah sistem 3D yang digunakan karena efek 3D yang dihasilkan akan terus stabil tidak akan mengurangi kualitas film jika ditonton pada posisi kepala menunduk atau mendongak. Dikarenakan teknologi yang dipakai menggunakan circular polarization yang terdapat pada lensa kacamata dan perangkat yang berfungsi sebagai pengatur pencahayaan yang terpasang di optic proyektor. Didepan lensa proyektor, Real D memasang filter polarisasi. Silver screen merupakan layar khusus pada sistem Real D
  2. Dolby 3D dengan menggunakan teknologi colorwheel yang terdapat beberapa filter berwarna dengan fungsi mentransmisikan gambar dengan macam-macam level gelombang cahaya berguna dalam menayangkan efek gambar 3D. Pada Dolby 3D dipasang cakram spektrum warna didepan lampu proyektor untuk memodifikasi proyektor digital.
  3. IMAX 3D merupakan suatu perusahaan di bidang teknologi bioskop dimana awalnya hanya ikut dalam penayangan serta pengambilan gambar yang beresolusi lebih tinggi 35 mmpada format filmya yaitu 70 mm proyektor untuk penayangan dan 65 mm film negatif pada kamera IMAX. Perkembangan teknologi membuat kualitas gambar menjadi lebih baik dari 2K dalam 2 proyektor menjadi 4K dalam satu proyektor.

Aplikasi pembuatan film ini dikenal dengan nama CGI atau Computer Generated Imagery dan juga beberapa software yang populer dari aplikasi ini seperti Maya, Blender, Art of Illusion dll. CGI merupakan penerapan bidang komputer grafis khususnya dalam bidang 3D untuk efek khusus, iklan, program televisi maupun media cetak. Salah satu efek dari aplikasi CGI adalah digital grading, dimana warna asli objek pada saat shooting bisa dirubah sehingga sesuai dengan skenario. Contohnya adalah dalam film The Lord of the Rings, pada wajah Sean Bean yang ketika meninggal dibuat lebih pucat. Efek ini adalah murni efek komputerisasi dari aplikasi CGI, digital grading, dan bukan efek makeup. Penggunaan software ini memang sedikit banyak mempermudah pengambilan gambar karena bisa dilakukan langsung bersamaan pada saat editing. Jika menggunakan makeup akan ada waktu yang terbuang untuk menghapus makeup dan menggantinya lagi.

Teknologi yang semakin canggih tentu membutuhkan biaya yang juga tidak sedikit dan teknologi CGI ini tergolong teknologi yang cukup mahal. Satu frame CGI biasanya dibuat berukuran 1,4–6 megapiksel dan untuk membuat satu tokoh dengan adegannya saja biasanya dibutuhkan waktu untuk rendering setiap frame 2-3 jam, bahkan bisa jauh lebih lama jika membutuhkan sebuah adegan yang kompleks.

Cara sederhana untuk membuat efek pada suatu film, kita dapat menggunakan 3DMax, lightwave, Cinema4D, Maya, atau software yang gratis seperti Blender. Software tersebut sebenarnya merupakan software 3D modelling yang juga bisa untuk animasi. Selain software diatas ada beberapa software yang memang khusus untuk keperluan animasi & visual effect movie yaitu Vue, Bryce, Poser, dan DAZ Studio. Setelah animasi dan visual effect selesai selanjutnya dilakukan kombinasi atau penggabungan antara visual effect yang biasa disebut compositing. Software yang digunakan memiliki kemampuan dan fasilitas yang canggih dengan kualitas yang baik. Kelebihan dalam membuat objek 3D yaitu dalam pemberian efek , pengaturan dan penyesuaian gerak, impor suara dan video, serta yang lainnya. Beberapa software yang digunakan yaitu dengan Apple Shake, Adobe After Effects, Autodesk Combustion, D2 Software Nuke, Eyeon Digital Fusion, Jahshaka, MAX Studio, Alias Wave Front AMA, Light Wave, Poser (figure animation), Bryce (landscape animation), dan Maya. Namun untuk hasil yang lebih real atau nyata bisa menggunakan platform yang mengkombinasikan solusi software & hardware. Platform tersebut bisa dengan Autodesk Inferno, Autodesk Flame, dan Autodesk Flint.

Software pendukung yang biasa digunakan dalam pembuatan film 3D adalah sebagai berikut :

  1. Adobe Premiere Pro 2.0

Adobe Premiere Pro 2.0 merupakan seri terbaru dari Adobe Premiere. Adobe Premiere Pro 2.0 adalah salah satu program yang sangat popular dalam dunia editing film. Program ini dibuat oleh perusahaan software yang terkenal, yaitu Adobe. Adobe Premiere Pro 2.0 dibuat untuk melakukan editing film dan juga untuk membuat animasi video digital.

  1. Adobe Photoshop 9.0

Adobe Photoshop 9.0 adalah Software Editing Image yang sangat popular. Software ini dibuat dengan fitur lengkap sehingga menghasilkan karya image yang lebih bagus dan handal.

  1. 3D Studio Max 7.0

3D Studio Max adalah software grafik yang memadukan antara Graphic Vector dengan Raster Image. Pemaduan ini bertujuan untuk menghasilkan hasil rancangan Virtual Reality atau mendekati keadaan yang sebenarnya.

  1. Adobe After Effects 7.0

Adobe After Effects 7.0 adalah software yang digunakan untuk membuat berbagai efek pada sebuah animasi.

Contoh film dengan menggunakan sistem animasi 3D adalah Bugs Life, AntZ, Dinosaurs, Final Fantasy, Toy Story Series, Monster Inc., Finding Nemo, The Incredible, Shark Tale, dan masih banyak lagi.

Pembuatan film 3D pada dasarnya bisa dibagi menjadi tiga jenis, live action, animasi, dan konversi 2D ke 3D. Pembuatan film live action membutuhkan dua tahapan: syuting dengan kamera 3D dan pasca produksi (editing, colorgrading, mastering, dan sebagainya). Pembuatan animasi 3D dianggap lebih sederhana dengan menggunakan kamera virtual di komputer dan kesalahan efek 3D lebih bisa dihindari daripada pembuatan film 3D live action.

Konversi 2D ke 3D merupakan proses alternatif. Pengambilan gambar dilakukan secara 2D namun dalam pasca produksi dilakukan keputusan bahwa film juga diedarkan secara 3D. Proses konversi 2D ke 3D merupakan proses yang sangat intensif karena dilakukan duplikasi semua frame film agar didapat gambar ganda untuk mata kanan dan kiri sehingga biaya paska produksi membengkak. Biasanya konversi dilakukan terhadap film-film lama yang dirilis ulang ke format 3D seperti Nightmare Before Christmas dan Titanic (90an).

Biasanya proses pengambilan gambar (optik atau digital) memerlukan dual camera rig. Ada dua macam rig 3D yang umum yaitu side by side dan mirror rig. Side by side rig adalah penempatan dua kamera identik secara berdampingan. Sistem ini lebih sederhana dibandingkan sistem mirror rig namun mempunyai kelemahan. Rig ini hanya ideal untuk kamera kecil. Pada kamera besar jarak kedua kamera menjadi terlalu dekat hingga bisa muncul masalah: interocular/interaxial (perspektif paralel jarak kedua lensa dari kedua kamera) tidak bisa cukup kecil untuk shot close up. Akibatnya kedalaman gambar terdistorsi memanjang.

Mirror rig berhasil mengatasi masalah itu namun mempunyai kelemahan lain: polarisasi gambar; pantulan atau refleksi pada sebuah objek di satu mata tidak ditemukan di mata lain. Problem ini bisa dikoreksi dengan menggunakan filter polarizer di lensa yang terdapat pantulan. Akibatnya cahaya yang masuk ke kamera berubah.

Selain menggunakan dual camera rig, ada pilihan ketiga, yaitu dengan menggunakan satu kamera dengan sistem dua lensa. Panasonic merupakan perusahaan pertama yang membuat kamera video digital berkualitas resolusi HD dengan dua lensa untuk membuat film 3D. Kamera ini menjadi alternatif bagi orang yang mau membuat film 3D dengan bujet lebih murah karena hanya menggunakan satu kamera. Kabarnya kamera ini digunakan pertama kali untuk membuat film Sex and Zen 3D: Extreme Ecstacy (Hongkong, 2011), yang merupakan film semi porno 3D pertama di dunia yang dibuat dengan teknologi digital.

Selain memilih sistem kamera yang cocok, ada dua metode yang harus diperhatikan dalam pengambilan gambar 3D yaitu parallel dan convergence. Parallel adalah cara mengambil dua gambar dari kamera yang perspektifnya paralel lurus ke depan. Cara ini adalah cara yang sangat aman namun memerlukan usaha dan waktu banyak dalam penanganan paska produksi. Convergence, adalah cara menyilangkan perspektif kedua kamera sehingga kamera kanan mengambil gambar ke kiri sedang kamera kiri mengambil gambar ke kanan. Hasil dari pengambilan gambar ini lebih gampang diolah di tahap pasca produksi namun apabila terjadi over-convergence (penyilangan berlebihan), hasil syuting sulit untuk diproses menjadi gambar 3D yang baik.

Pengerjaan pasca produksi untuk film 3D membutuhkan perangkat yang mendukung materi 3D. Alat-alat yang dimaksud adalah display monitor atau proyektor, sistem color grading, dan online editing/special effect.

Monitor atau proyektor yang digunakan harus memiliki kemampuan untuk melihat gambar film 3D. Ada dua jenis sistem yang bisa digunakan, aktif dan pasif. Sistem aktif adalah dengan menggunakan kacamata 3D dari LCD (Liquid Crystal Display) yang secara berganti-gantian berkedip-kedip antara mata kanan dan kiri. Kaca mata ini merupakan perangkat elektronik yang terkoneksi dengan infra merah ke display monitor. Selain mahal, kaca mata ini membutuhkan tenaga baterai dan biasanya hanya dijual sebagai satu set dengan alat display merek yang sama dan umumnya tidak kompatibel dengan monitor atau proyektor 3D  merek lain. Sementara sistem pasif menggunakan kaca mata polarized 3D biasa yang tidak mahal haganya dan bisa dipakai dengan display monitor atau sistem proyektor 3D profesional merek apa saja.

Berbagai merek alat color-grading maupun online editing di masa sekarang memiliki fitur untuk pengerjaan film 3D yaitu kemampuan untuk mengerjakan dua track gambar untuk mata kanan dan mata kiri dengan mengatur axis x, y, dan z (sistem koordinat Cartesian). Pada pengerjaan film 2D, pengaturan dimensi gambar direpresentasikan dengan menggunakan fitur axis x dan y yang merepresentasikan panjang dan tinggi gambar film. Sedang untuk pengerjaan film 3D ditambahkan axis y yang mengatur depth (kedalaman persepektif) untuk mendapatkan efek tiga dimensi. Quantel Pablo merupakan salah satu contoh merek gabungan sistem color-grading dan online editing yang pertama keluar. Beberapa merek alat terkenal lain juga sekarang memiliki model terbaru dengan fitur untuk 3D seperti Scratch, Davinci Resolve, Autodesk, Nuke, dan sebagainya.

Penayangan film 3D di bioskop digital memerlukan dua proyektor interlocking atau satu proyektor dengan dua lensa. Merek-merek proyektor terkenal yang biasa digunakan untuk sinema digital adalah Christie, Barco, Sony, dan Kinoton.

Selain itu diperlukan alat untuk mengatur agar proyektor optik bisa memutar film 3D. Ada beberapa merek terkenal yang membuat peralatan ini seperti RealD, Dolby 3D, dan IMAX 3D. Real D merupakan sistem 3D bioskop yang paling banyak digunakan pada saat ini karena efek tiga dimensi yang dihasilkan tetap stabil walaupun penonton melihat dalam posisi kepala mendongak atau menunduk. Ini disebabkan karena teknologi circular polarization yang ada di lensa kaca mata dan sebuah perangkat untuk mengatur pencahayaan yang dipasang di proyektor optik. Selain itu dari faktor ekonomis, harga kaca mata circular polarization lebih murah daripada kaca mata berteknologi lain seperti LCD.

Dolby 3D memakai teknologi colorwheel yang memiliki sejumlah filter berwarna yang berfungsi mentransmisikan gambar dengan berbagai level gelombang cahaya untuk menampilkan efek gambar 3D. Metode ini disebut wavelength multiplex visualization. Kaca mata untuk sistem Dolby 3D lebih mahal dari buatan RealD dan rapuh. Namun kelebihan Dolby 3D dibanding kompetitor seperti RealD adalah bisa berfungsi di proyektor konvensional.

IMAX 3D adalah perusahaan di bidang teknologi bioskop yang awalnya berkecimpung dalam  pengambilan gambar dan penayangan film dengan format film resolusi lebih tinggi dari 35mm, yaitu 65mm film negatif dengan kamera IMAX dan 70mm proyektor IMAX untuk penayangan. Karena resolusi yang dihasilkan sistem ini besar maka ukuran layar bioskop IMAX berukuran sangat besar dibandingkan di bioskop konvensional. IMAX sudah terlibat dalam penanganan 3D sejak zaman analog dengan membuat proyektor untuk copy film 70mm dengan dua lensa yang berjarak 64mm (jarak rata-rata antara kedua mata manusia). Ketika IMAX mulai menggunakan teknologi digital di tahun 2008, mereka mendapatkan bahwa resolusi yang dihasilkan oleh dua proyektor 2K tidak bisa menyamai kualitas print 70mm analog. Mereka menemukan bahwa kualitas gambar dari dua proyektor 2K tetap lebih rendah dari satu proyektor 4K. Semenjak 2012, IMAX bekerja sama dengan Barco menghasilkan dua buah proyektor 4K dan menurut laporan hasilnya cukup bagus.

Sebagian industri perfilman sedang merilis film 4 dimensi (4D) yaitu dimana si penonton benar-benar merasakan seakan dia sedang berada pada latar film tersebut ditambah dengan pergerakan kursi dan efek yang ditumbulkan dari ruangan tersebut yang menyebabkan penonton benar-bernar bergerak ke segala arah. Film 4 dimensi di Indonesia pernah di putar di Dunia Fantasi, Jakarta beberapa tahun yang lalu. Film tersebut menceritakan tentang seekor berunag kutub kecil yang terpisah dengan induknya akibat melelehnya es di kutub karena suhu di kutub semakin memanas. Efek ruangan yang ditimbulkan adalah semprotan air seakan-akan penonton merasakan cipratan air saat bongkahan es jatuh di hadapan mereka. Kemudian kursi digerakkan mengikuti arah bongkahan es yang bergerak seakan-akan penonton berada di bongkahan es yang mengarungi lautan luas.

[1] Edinburgh Gate, Longman Active Study Dictionary 5th Edition, (United Kingdom:Pearson Longman, 2010), cet. ke-5, h. 330.

Tinggalkan komentar